Kisah percintaan presiden pertama RI, Soekarno selalu
menarik. Mulai dari Oetari, Inggit, Fatmawati sampai ke Hartini. Dalam buku
autobiografinya dikerjakan Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat,
terbit bulan November 1965, mengungkapkan semua hal tersebut.
Namun, Bung Karno
melarang dicantumkannya kisah pernikahan dengan Naoko Nemoto atau Dewi
Soekarno (Maret 1962), Haryati (Mei 1963), dan Yurike Sanger (Agustus 1964).
Nama Dewi dan Haryati baru muncul dalam buku kedua Cindy
Adams, terbit tahun 1967 dengan judul, My Friend the Dictator. Cindy tanpa sengaja bertemu Haryati di Istana
Tampaksiring, Bali, semasa mengikuti kunjungan Presiden Filipina Diosdado
Macapagal. Haryati waktu itu sudah lebih dulu dikirim ke Bali untuk mendahului
rombongan resmi.
Haryati yang juga penari istana itu menjelaskan soal
pernikahannya dengan orang nomor satu di Indonesia ketika itu.
“Kami menikah di Jakarta bulan Mei 1963 dan Bapak berpendapat,
sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan kepada masyarakat
luas. Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi berbagai kesulitan.
Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya sekarang 63 tahun,
sedangkan saya baru 23 tahun,” ujar Haryati.
Bung Karno terlihat sangat mencintai Haryati. Dalam buku
Total Bung Karno, karya Roso Daras diceritakan Bung Karno menulis surat cinta
pada tanggal 31 Agustus 1963 kepada Hariyatie.
Waktu itu, Hariyati masih tinggal di rumah Jalan Madiun,
Menteng – Jakarta Pusat. Surat itu terdiri atas dua lembar. Pada sisi kertas
ditulis miring, Bung Karno menulis “Bali saka hotel, ora bisa turu, njur nulis
layang iki,” (Pulang dari hotel, tidak bisa tidur, lantas menulis surat ini).
Surat kepada Hariyati banyak dituang dalam bahasa Jawa. Seperti suratnya
berikut ini:
**
Yatie adikku wong ayu,
Iki lho arloji sing berkarat kae. Kulinakna nganggo, mengko
sawise sesasi rak weruh endi sing kok
pilih: sing ireng, apa sing dek mau kae,
apa karo-karone? Dus: mengko sesasi engkas matura aku (Dadi: senajan
karo-karone kok senengi, aku ya seneng wae).
Masa ora aku seneng! Lha wong sing mundut wanodya pelenging
atiku kok! Aja maneh sekadar arloji, lha mbok apa-apa wae ya bakal tak wenehke.
Tie, layang-layangku ki simpenen ya! Karben dadi gambaran
cintaku marang kowe kang bisa diwaca-waca maneh (kita baca bersama-sama) ing
tembe jen aku wus arep pindah-omah sacedake telaga biru sing tak ceritake dek
anu kae. Kae lho, telaga biru ing nduwur, sak nduwure angkasa.
Coba tutupen mripatmu saiki, telaga kuwi rak katon ing
tjipta! Yen ing pinggir telaga mau katon ana wong lanang ngagem jubah putih
(dudu mori lho, nanging kain kang sinulam soroting surya), ya kuwi aku, — aku,
ngenteni kowe.
Sebab saka pangiraku, aku sing bakal ndisiki tindak menyang
kono, — aku, ndisiki kowe!
Lha kae, kembang semboja ing saknduwure pasareanku kae, —
petiken kembang iku, ambunen, gandane rak gandaku.
Dudu ganda kembang, nanging
sawijining ganda kang ginawe saka rasa-cintaku. Sebab, oyote kemboja mau mlebu
ing dadaku ing kuburan.
Masmu
(Tertanda Soekarno)
Terjemahan:
Yatie, adikku yang ayu,
Ini lho, arloji bertahta emas itu. Biasakan memakai, nanti
setelah sebulan kamu akan tahu mana yang hendak dipilih, yang hitam atau yang
satunya, atau keduanya? Jadi, nanti sebulan lagi, bilanglah (walaupun suka
keduanya, aku senang juga).
Masak aku tidak senang, lha yang meminta saja wanita jantung
hatiku! Jangankan sekadar arloji, minta apa pun akan aku beri.
Tie, surat-suratku ini tolong disimpan ya! Supaya menjadi
gambaran cintaku kepadamu, yang bisa dibaca-baca lagi (kita baca bersama-sama)
pada suatu saat nanti, kala aku mau pindah-rumah di dekat telaga biru yang saya
ceritakan ketika itu. Itu lho, telaga di atas, di atasnya angkasa.
Coba kau pejamkan matamu sekarang, maka kau akan bisa
membayangkan telaga itu! Kalau di tepian telaga tadi tampak lelaki berjubah
putih (bukan kain kafan lho… tetapi kain yang bersulamkan pancaran sinar
matahari), ya itu aku, –aku, menunggumu.
Sebab dari perkiraanku, aku yang bakal
mendahului pergi ke sana, aku mendahuluimu!
Lha itu, kembang kamboja di atas nisanku, petiklah kembang
itu, ciumilah, maka kamu akan rasakan aroma tubuhku.
Bukan aroma bunga, tetapi
sebuah aroma yang tercipta dari rasa-cintaku. Sebab, akar kamboja itu menusuk
menembus dadaku, di dalam kuburan sana.
Comments
Post a Comment